April 2004
Di belakang kantin itu lagi.
Panas matahari masih sama. Riuh dari lapangan depan juga masih membahana sampai belakang sini. Kami tidak peduli tapi. Kami punya dunia sendiri. Mereka mungkin heboh dengan kemampuan mereka mencetak gol ke gawang batu-tiga-langkah yang dijaga anak-anak bertubuh kurus itu. Kami tetap tak tertarik. Mereka mungkin merasa jago dengan keahlian membaca kartu dan pergerakan lawan dalam permainan kartu dari jepang itu. Kami tetap sama. Disinilah singgasana kami, belakang kantin. Tak terusik gelombang dari lapangan depan, kami mengobrol sunyi satu sama lain. Di depan sana, mereka mungkin tak sadar ada 5 anak yang hilang dari peredaran mereka. Mereka bahkan tak peduli ada kami atau tidak. Sangat terlihat seperti itu.
Kami punya dunia kami sendiri.
Kami terus memegang teguh keyakinan itu. Setidaknya sampai suatu saat ada salah seorang diantara kami yang diajak main oleh anak-anak lapangan depan—mungkin. Kami dipaksa untuk membangun dunia sendiri. Karena di dunia yang luas sana, kami seperti kerikil kecil. Eksistensi kami tidak dipertanyakan.
Eno, Rinto, Fahmi, Galih, dan aku sendiri.
Kami berlima. Tiap bel istirahat berbunyi, kami tak sebahagia anak-anak lain—atau kelihatannya seperti itu—yang langsung menghambur ke luar kelas, seperti ikan yang dibebaskan dari bubu. Berteriak-teriak, menghampiri teman terdekatnya, mengganggu kelompok lain, dan ujung-ujungnya bermain bola. Selalu seperti itu.
Kami juga selalu seperti itu, tapi dengan cara kami. Berjalan gontai melawan arus, ke arah kantin belakang. Tempat anak-anak yang kurang beruntung berkumpul secara individual, tidak punya teman main, atau tepatnya, tidak ada yang mengajak main. Kasihan.
Kembali lagi kami duduk di belakang sana.
Bercengkrama tanpa permisi pada kursi-kursi dan meja-meja kayu reot yang aku yakin umurnya lebih tua dari kami. Tawa kami mungkin tak membahana, tak tergelak-gelak seperti anak-anak lapangan depan, tapi kami senang. Suara angin mungkin lebih sering masuk ke gendang telinga daripada gelombang transversal produksi pita suara kami sendiri. Tapi kami bahagia. Kami punya cara sendiri.
Suatu hari Fahmi datang dengan ide yang sangat tiba-tiba. Karena, tak ada hujan tak ada angin—sebenarnya ada angin—dia muncul dengan ide seperti itu. Fahmi ingin kami punya nama dan mulai hidup layaknya anak-anak lapangan depan. Mungkin dia sudah bosan hidup terisolasi seperti ini dan mulai ingin mencoba hal baru. Kami hanya diam, tidak menolak tapi juga tidak setuju, kami hanya bingung. Diamnya kami pertanda kami mempersilakan Fahmi untuk melanjutkan kampanye. Fahmi bahkan sudah memikirkan nama, konsep, job descriptions, visi dan misi, dan sejumlah kata-kata diplomasi nan persuasif agar kita tidak punya pilihan lain selain kata setuju. Anak itu memang penuh dengan antisipasi. Fahmi memang yang paling pintar dan cerdas di antara kami berlima, bahkan mungkin di kelas, karena selain dengan kami, dia juga berteman akrab dengan buku-buku. Tidak heran anak-anak lapangan depan enggan memasukkan Fahmi ke dalam tim. Tapi, di kelas, saat pelajaran matematika atau bahasa inggris, anak-anak lapangan depan itu berlomba-lomba menjadi teman se-tim Fahmi. Cerah sekali masa depan calon-calon pemimpin bangsa itu.
“Catur Merah.” Nama singkat itu diucapkan Fahmi dengan senyum bangga, seolah-olah dia telah menemukan nama perkumpulan yang nantinya akan jadi organisasi besar dunia.
Lagi, kami hanya diam.
Kecerdasan linguistik kami sepertinya memang sangat terbatas. Kami rasanya belum siap untuk merespon sesuatu yang seasing ini. Menurutku wajar, karena kami cuma terbiasa membahas kebohongan berbentuk film-film kartun yang berasal dari negeri kecil tapi canggih ribuan mil di utara negeri Indonesia ini.
Diamnya kami dimanfaatkan dengan sangat apik oleh Fahmi untuk melanjutkan kampanye.
“Kamu tahu catur kan?” Tantang Fahmi.
“Iya, jelas. Bapakku suka main catur. Aku juga suka ikutan.” Eno melahap umpan Fahmi.
Yang lain hanya mengangguk—bahasa lain untuk mengatakan “iya” tapi tidak ada di kamus.
“Hanya orang-orang pintar yang main catur.” Fahmi berdiplomasi.
“Kita orang-orang pintar kan?” Fahmi melempar pancing lagi.
Pancingan Fahmi nampaknya kurang menggiurkan kali ini. Tidak ada seonggok kata pun yang terlontar dari mulut kecil kami. Yang ada hanya anggukan-anggukan kecil. Bukan pertanda iya, tapi pertanda bingung karena tidak yakin pertanyaan Fahmi memang benar untuk kami.
“Aku menteri.” Fahmi mengkalim diri sendiri sebagai bidak terkuat yang berkancah di atas medan perang hitam-putih papan catur. Tak bosan-bosan kami hanya diam, tak ada bantahan, tak ada komplain, setuju begitu saja.
“Aku benteng.” Kami menoleh seketika ke arah Eno. Dia angkat bicara. Luar biasa! Fahmi tersenyum menang. Dia tahu pancingannya berhasil. Dia tahu dengan adanya satu orang pasif saja yang menjadi aktif akan membawa perubahan besar ke dalam komunitas.
“Yak, Eno benteng! Hebat, benteng itu kuat loh, favorit aku juga. Untung kamu orang pertama yang jadi benteng, karena tiap orang hanya boleh pilih satu jenis.” Luar biasa, Fahmi tahu betul bagaimana cara memanfaatkan percik semangat yang kecil menjadi kobaran antusiasme yang besar. Yang lain saling tatap, namun kini bukan tatapan pasif, tatapan itu adalah tatapan berlomba-lomba mengumpulkan keberanian untuk berbicara layaknya pemimpin.
“Aku! Aku kuda!”. Kali ini Galih. Luapan emosi sesaat tadi nampaknya telah menyadarkan Galih--dan yang lainnya--bahwa angkat bicara tidak sehoror itu.
“Kamu bukan orang kah Galih? Kamu kuda ya?” Mesin di dalam tubuh Eno seperti telah menemukan saklarnya. Dia tak lagi enggan untuk bicara. Semua tertawa. Tawa lepas dan tergelak-gelak seperti layaknya anak lapangan depan.
Sesaat kami merasakan kebahagiaan yang belum pernah kami rasakan sebelumnya. Kobaran antusiasme itu nampaknya telah melanglangbuana liar. Kami memasuki tahap kesenangan yang setingkat lebih tinggi hari ini.
“Yak, Galih kuda. Satu-satunya bidak yang berani berlari lincah dan liar di atas papan. Kuda lambang keberanian.” Lagi-lagi berhasil. Fahmi mungkin telah merencanakan dialognya pada malam sebelumnya. Hebat sekali. Semua puas.
Tinggal dua bidak dan dua anak yang tersisa. Aku dan Rinto. Kami sadar bidak yang tersisa tinggal gajah dan raja. Aku dan Rinto dilanda dilema luar biasa saat itu karena keadaannya menjadi seperti hanya ada satu pilihan untuk dua orang. Aku yakin Rinto seperti aku, tidak mungkin berani mengajukan diri menjadi raja. Kedudukan itu terlalu tinggi untuk kami klaim. Raja, walaupun lemah, adalah pemegang kunci kemenangan atau kekalahan dalam catur. Dia adalah jiwa tiap-tiap sisi yang berperang. Dengannya perang berlanjut, tanpanya perang selesai. Dia adalah jantung permainan. Dia adalah saklar kehidupan catur. Semua fakta itu makin meyakinkanku bahwa sekarang aku dan Rinto ada dalam keadaan terdesak. Kami berdua harus berperang batin demi memperebutkan gajah, satu-satunya bidak unggul yang posisinya ada di bawah raja. Rasa sesal karena tidak menjadi yang pertama berbicara merasuk cepat ke nadiku, mengirim impuls-impuls luar biasa cepat ke jantung yang kini berdetak tiga kali lebih banyak dibandingkan lima menit yang lalu.
“Seharusnya aku yang duluan memilih benteng tadi, atau setidaknya kuda. Kini keadaan menjadi rumit. Kalau aku angkat bicara dan menjadi gajah, apa jadinya Rinto?” Pikirku. Terlalu rumit, memang, bagi ukuran anak usia 14 tahun dalam memikirkan hal simpel seperti itu. “Kalau Rinto angkat bicara duluan........”
“Aku...” Rinto memulai. Habis sudah, aku terlambat. Aku menyesali kelambananku.
“Aku raja.” Kata Rinto hampir tanpa ekspresi takut, sesal, ataupun salah ucap.
Gendang telingaku seketika menjadi tuli, seolah-olah aku memang terlahir tanpa gendang telinga. Namun aku bisa mendengar satu suara yang berulang-ulang. Hanya satu suara. Suara “Aku raja”-nya Rinto.
Aku kaget. Semua kaget. Bahkan Fahmi tak menduga. Rinto harusnya juga kaget. Aku pun berharap Rinto juga kaget dan menelan kembali kata-katanya. Tapi harapanku sia-sia. Rinto mantap dengan pilihannya. Aku senang sekaligus merasa aneh dengan pilihan yang tersisa. Aku belum habis pikir kenapa Rinto tiba-tiba berubah jadi Rinto yang lain, yang bahkan melebih Fahmi yang mengklaim dirinya sebagai menteri.
“Oke, berarti kamu gajah ya?” Fahmi mengembalikanku menjadi manusia normal yang punya gendang telinga lagi. “Ah, iya.” Jawabku singkat. Aku masih kacau. Belum sepenuhnya sadar akibat insiden yang dibuat Rinto tadi. Aku menoleh ke Rinto, dia sedang tersenyum, matanya binar. Fahmi berhasil menyemai virus luar biasa itu ke sebagian dari kami. Semua ini berkat Fahmi.
“Ngomong-ngomong, kamu hebat Rin, memutuskan jadi raja. Aku salut!” Kata Fahmi. Dia tidak munafik, dia benar-benar salut. Gelombang euforia makin menjalar ke tubuh Rinto.
“Aku cuma tidak suka sama gajah. Hehe.” Balas Rinto kemudian. Yang disusul dengan ketidakpercayaan yang luar biasa diantara kami. Alasannya ternyata sesederhana itu! Rinto menghindari hal kecil dengan membuat dirinya memilih hal lain, walaupun pilihan itu menempatkannya pada posisi sulit. Entah itu keberanian atau kepengecutan yang ekstrim. Satu hal yang terlintas di pikiranku saat itu, “Jangan-jangan presiden seperti itu.”
“Kenapa tidak ada pion?” Eno menunjukkan ketertarikannya atas komunitas ini dengan menanyakan sesuatu yang sangat penting. Kesimpulan yang dapat aku ambil adalah, sejauh ini dia masih peduli dan memerhatikan.
“Karena....” Fahmi memulai, lagi-lagi dengan gaya diplomatnya, dan lagi-lagi sepertinya kata-katanya telah ia siapkan tadi malam. “.....merekalah pion-pion kita!” jari Fahmi tegas menunjuk arah lapangan depan. Tiba-tiba saja kami sadar kalau di lapangan depan sana berisik sekali. Banyak sekali anak-anak di lapangan depan itu. Jumlahnya puluhan kali lipat Catur Merah, bahkan ratusan. Kami belum tahu humor normal saat itu, namun setelah Fahmi selesai berbicara, tiba-tiba kami punya sense of humor. Kami menyangka Fahmi bercanda. Kami tertawa. Tapi Fahmi tidak. Dia serius. Benar-benar serius. Ini menimbulkan ketidakpercayaan yang baru buat kami. Bagaimana mungkin anak-anak lapangan depan menjadi pion kami. Yang ada kami-lah yang jadi pion mereka. Pion yang bahkan letaknya di luar papan—karena sudah kalah.
Semangat membuncah-buncah yang tadi melanda kami tiba-tiba melayang pergi begitu saja. Meninggalkan kami yang kembali menjadi kami yang normal, bukan Catur Merah. Kami tidak mengrti apa yang ada di pikiran Fahmi. Dia hebat, tapi ceroboh.
Bel tanda istirahat usai telah berbunyi. Ikan-ikan dipaksa kembali masuk bubu, walau enggan. Catur Merah sudah terbentuk. Tidak resmi, namun mengikat. Dengan Rinto sebagai rajanya. Aku khawatir. Sungguh.
Juli 2004
Bel istirahat berbunyi. Kembali mereka menghambur keluar. Kini kami tidak berjalan berlawanan arah dengan anak-anak lain. Kami berjalan searah dengan mereka. Tidak ke lapangan depan, tapi ke belakang kantin. Catur Merah menemukan masa kejayaannya. Kini kami berlima bukan perwira tanpa prajurit lagi. Anak lapangan depan telah berhasil dijadikan “pion” oleh kami berlima. Sekarang, tiap bel istirahat berbunyi, hampir semua anak berbondong-bondong datang ke belakang kantin. Ada turnamen catur di sana. Tiap anak berusaha mematenkan jati diri mereka sebagai bocah terhebat di sekolah dengan memenangkan kejuaraan catur dan menjadi yang tak terkalahkan di sana.
Fahmi, Eno, dan Rinto adalah tiga perwakilan terhebat dari Catur Merah. Mereka, terutama Rinto, secara sangat mengejutkan ternyata adalah pecatur kelas atas di sekolah. Mereka tak pernah lepas dari urutan 5 besar dari turnamen kecil yang diikuti lebih dari 50 orang ini. Hebat sekali. Aku dan Galih? Kami hanya penggembira. Cocok sekali dengan jabatan kami, kuda dan gajah. Kuda dan gajah hanya setingkat lebih tinggi dari pion. Pecatur tak akan begitu khawatir ketika kehilangn gajah atau kuda. Tapi kehilangan sebidak benteng saja, apalagi menteri, pecatur akan mulai ketar ketir.
Rahasia keberhasilan kami adalah taktik tantang-dan-cemooh dari Fahmi. Awalnya hanya dia yang bergerak. Sehari setelah Catur Merah terbentuk, Fahmi membawa papan catur ke sekolah dan mengajak salah satu dari kami untuk bermain di kelas. Lawan pertamanya adalah Eno, yang tentu saja kalah. Hari berikutnya, mulai ada dua anak lapangan depan yang menonton. Saat itu Fahmi versus Rinto. Secara mengejutkan, Rinto menang. Bahkan anak lapangan depan yang tidak mengenal kami pun kaget, karena common sense bagi mereka adalah, Fahmi anak tercerdas di kelas, dan Rinto tadinya bukan siapa-siapa di kelas. Rasa penasaran mulai menjalar di salah satu anak lapangan depan. Melihat kesempatan itu, Fahmi menariknya masuk ke dunia kami. Fahmi menantangnya. Anak itu tertarik. Fahmi sudah bisa membaca situasi, dia memang merencanakan ini. Kurang dari 5 menit kemenangan sudah tergenggam oleh Fahmi. Seperti namanya, taktik tantang-dan-cemooh menggunakan cemoohan untuk menggalang sukses. Fahmi dengan tanpa ampun mencemooh anak lapangan depan itu. Emosi sudah tersalurkan. Anak itu tersulut dan memanggil temannya untuk melawan Fahmi. Tujuan anak itu adalah agar bisa mencemooh balik, tapi sepertinya mimpi anak itu untuk mencemooh balik tak bisa semudah itu terwujud. Fahmi, Eno, dan Rinto, mereka bertiga secara bergantian dengan sadis mengganyang anak lapangan depan satu per satu. Eno dan Rinto kini sudah mulai berani mengaplikasikan taktik tantang-dan-cemooh Fahmi setelah mereka merasa cukup kuat mental untuk melakukannya. Hanya aku dan Galih yang kurang bisa mengaplikasikannya. Karena kami berdua mudah kalah. Fahmi berkata itu bagian dari taktik. Benar juga, pikirku, memberikan sedikit kesenangan untuk anak lapangan depan dengan membiarkannya menang ketika melawanku atau Galih adalah cara yang cukup ampuh untuk menarik massa. Saat mereka bosan kalah, mereka akan datang dan menantangku atau Galih. Dan anehnya, anak lapangan depan itu juga menerapkan taktik tantang-dan-cemooh untuk aku dan Galih—sebenarnya lebih banyak cemoohnya. Dan yang lebih menarik, mereka juga menerapkan taktik itu kepada sesama mereka.
Berkembang biak cepat seperti bakteri, jumlah anak lapangan depan yang bergabung ke dunia kami dalam jangka waktu satu bulan saja sudah berlipat-lipat ganda. Mereka kini membawa papan catur mereka sendiri. Ruang kelas menjadi sesak saat jam istirahat. Lapangan depan kekurangan peminat secara drastis. Suatu hari Fahmi mengajak para “pion” ke singgasana Catur Merah—belakang kantin. Tempat yang lebih leluasa untuk menggelar perang antar papan. Hari berikutnya Fahmi datang lagi dengan ide baru. Ia akan menggelar liga untuk mempertontonkan nama-nama hebat dan mempermalukan nama-nama kurang beruntung di depan kami semua. Ide yang sangat efektif untuk membakar semangat mereka yang butuh pengakuan atas nama mereka. Kini Fahmi, Rinto, dan Eno menjadi selebriti di kalangan ini, tak ada yang tak kenal mereka. Pun dengan aku dan Galih, walaupun kami tidak sehebat mereka, kami juga dikenal sebagai pilar-pilar pendiri Catur Merah. Perlahan-lahan, taktik tantang-dan-cemooh ditanggalkan, dan persaingan sehat mulai mengudara. Kami mengajarkan sportifitas tinggi dan rasa persahabatan yang mendalam. Anak-anak lapangan depan itu sekarang manut seperti burung beo, mereka menuruti peraturan kami tanpa protes. Semua itu demi meraih peringkat tertinggi dalam liga dan mendapat pengakuan. Catur Merah secara tidak resmi telah sukses meraih jati diri mereka. Kami—yang dimotori Fahmi—secara tidak disadari oleh anak-anak lapangan depan itu, telah merekrut dan menjadikan mereka “pion” dengan memanfaatkan emosi mereka. Fahmi contoh calon pemimpin yang sempurna, dan ia menularkan sifat itu kepada kami. Hebat sekali.
April 2005
Coba tanyakan ke seantero sekolah, apakah ada yang tidak kenal dengan Catur Merah? Saat ini hampir tidak mungkin menemukan siswa yang tidak kenal Catur Merah. Kalaupun tidak tergabung, mereka pasti kenal, atau setidaknya pernah mendengar nama Catur Merah. Bahkan sebagian guru pun demikian. Kami tidak pernah menyangka akan melangkah sejauh ini setahun yang lalu. Seandainya kami adalah suatu perusahaan, mungkin kami adalah perusahaan yang telah menjadi sangat sukses dan kami berlima adalah direktur-direktur yang kaya raya.
Sudah setahun, api Catur Merah belum padam juga, bahkan secara mengejutkan, anggota kami telah mencapai ratusan! Tiap satu orang dari kami membawahi sebanyak kurang-lebih 20 “pion”. Kami telah menyetujui adanya pembagian kelas untuk para anggota. Galih memegang kelas paling ringan, yaitu kelas kuda. Anak-anak yang belum cukup kuat bermain catur berada di kelas Galih. Diikuti dengan kelas Gajah, kelasku. Setingkat di atas kelas kuda. Kemudian kelas benteng, punya Eno. Lalu kelas menteri Fahmi, dan yang teratas kelas raja, kelasnya Rinto. Belasan pecatur-pecatur kuat ada di kelas raja. Tiap 2 minggu kami menerapkan sistem gradasi dan degradasi. Kami menaikkan 5 pecatur teratas dari tiap kelas ke kelas berikutnya dan menurunkan 5 pecatur terbawah setingkat lebih rendah. Sistem ini memunculkan semangat bersaing yang luar biasa.
Dibanding setahun yang lalu, kini kami adalah 5 anak yang sangat berbeda. Kami yang sekarang telah berubah menjadi pemimpin. Memimpin anak-anak lapangan depan yang dulu kami anggap sangat kuat dan tidak akan pernah bisa untuk ditaklukkan anak-anak belakang seperti kami. Kami tidak lagi takut untuk berbicara. Kami benar-benar telah berubah, menjadi lebih baik. Jauh lebih baik. Semua berkat Fahmi, pemimpin yang sebenarnya.
Juni 2005
Ujian akhir sekolah sudah sangat dekat. Catur Merah masih di puncak kejayaannya. Tapi kami mulai memikirkan untuk fokus belajar demi meraih mimpi untuk masuk ke SMA favorit masing-masing. Ketika ujian akhir hanya tinggal beberapa minggu lagi, Fahmi mendatangi kami. Dia mengatakan untuk membubarkan Catur Merah demi kesuksesan kami dalam ujian akhir. Entah kenapa saat itu kami kembali seperti setahun yang lalu, hanya diam. Kami setuju, tapi tidak setuju di saat yang bersamaan. Tapi kami tahu Fahmi memikirkan yang terbaik. Maka kami setuju.
Bel istirahat, anak-anak belakang kantin membuyar lagi layaknya ikan-ikan yang dilepas dari bubu. Berjalan searah ke arah belakang kantin. Beberapa membawa papan catur. Kami telah disana, mendahului mereka. Bukan bermain catur, tapi mempersiapkan skenario terburuk: Membubarkan Catur Merah.
Fahmi lalu berdiri di atas salah satu meja reot yang masih cukup kokoh. Seketika semua anak memerhatikan. Semua berhenti bermain catur. Semua mata mengarah ke Fahmi. Aura pemimpinnya telah membimbingnya menjadi orang sehebat itu, bahkan di antara anak-anak barbar mantan pemakai lapangan depan. Fahmi akan memberikan pidato singkat tentang pembubaran catur merah dan alasan-alasannya. Seperti saat membentuk Catur Merah, Fahmi sepertinya telah memikirkan semua dialognya matang-matang. Lancar sekali dia mempersembahkan pidato pembubarannya. Raut muka tak setuju mulai banyak bermunculan. Kini mereka telah jatuh cinta kepada Catur Merah melebihi cinta mereka terhadap pengakuan atas nama mereka dalam liga, karena di sini mereka telah menemukan teman, sportifitas, persaingan sehat, manisnya kemenangan, kakalahan yang memotivasi, dan dukungan tak henti dari berbagai pihak. Semua itu terasa manis bagi mereka, juga bagi kami. Kami seharusnya tahu saat ini akan datang, cepat atau lambat.
Hari ini hari terakhir Catur Merah. Mulai besok tak ada lagi pergelaran liga catur. Tak ada lagi yang boleh membawa papan, alih-alih, mereka diminta untuk membawa buku pelajaran ke belakang kantin ini kalau mereka masih mau datang ke singgasana ini. Fahmi meminta itu semua. Fahmi memohon pengertian. Semua sebenarnya mengerti betul, mereka hanya belum rela kesenangan ini berakhir. Kami juga. Aku yakin Fahmi juga. Liga catur terakhir hari itu suram, sepi, sunyi. Pekik kemenangan tak lagi terdengar. Semua lesu. Semua tahu ini hari terakhir mereka bermain catur di sini. Saat bel pelajaran kembali berbunyi, Fahmi kembali berdiri, mengucapkan salam terakhir. Dia berkata, mungkin ini bukan yang terakhir. Jika sanggup, dia akan membuka kembali liga Catur Merah di luar sekolah. Fahmi berusaha menghibur. Semua merasa sedikit terhibur, tapi tetap saja hiburan itu tidak cukup. Ya, kami semua berharap dapat bergabung lagi nanti. Kami akan menunggu saat itu.
Keesokan harinya, kami telah menunggu di belakang kantin saat bel istirahat berbunyi. Kembali berjumlah 5 orang. Kali ini tanpa papan catur. Kami membawa buku-buku pelajaran sebagai gantinya. Ujian akhir tinggal beberapa minggu lagi. Kami belajar dalam sunyi, hanya Fahmi yang sesekali mengeluarkan suara untuk memberikan tutorial kepada 4 temannya yang lain. Lalu, keajaiban terjadi. Beberapa meter dari kami terlihat bayangan beberapa anak yang berjalan ke arah kami. mereka membawa sesuatu di tangan mereka. Tidak, bukan papan catur. Tapi buku pelajaran! Jumlah kami bertambah menjadi 11 sekarang. Menit berikutnya menjadi 18. Menit berikutnya menjadi 27. Lalu 41. Lalu 68, dan terus meningkat sampai total menjadi 112 anak! Sungguh tak terbayangkan pengaruh Catur Merah bisa sehebat ini. Bel masuk pelajaran berbunyi. Kami bergeming seolah tidak peduli. Fahmi masih asik mengajar, kami asik diajar. 1 anak mengajar 111 anak. Luar biasa!
Beberapa menit kemudian seorang guru dengan tampang gusar datang. Mungkin kesal karena kelas kosong saat bel masuk telah berbunyi. Kami tidak peduli. Guru itu makin mendekat, hampir marah. Situasi belakang kantin itu sangat kondusif. Kami belajar dengan sungguh-sungguh. Keadaan itu membuat sang guru membuka mata. Amarahnya tertahan di kerongkongan, turun ke jantung, bertukar posisi dengan simpati dan rasa bangga. Senyum tersungging di bibirnya. Dia duduk di baris belakang, memerhatikan. Fahmi menyapa sang guru, kami secara serempak menoleh dan tersenyum kepada sang guru. Fahmi telah menjadi semacam komandan bagi kami. Sang guru kemudian berdiri, meninggalkan kami. kami tetap tidak peduli. Beberapa menit kemudian, sang guru kembali, kali ini tidak sendiri. 4 guru lain berjalan beriringan dengannya. Dia memanggil bala bantuan. Fahmi dipanggil oleh sang guru, membuat semacam persetujuan singkat. Kemudian Fahmi duduk diantara aku, Eno, Rinto, dan Galih, kami saling menukar senyum bangga. Posisinya digantikan oleh 5 guru tadi. 112 anak lalu dibagi menjadi 5 kelompok dan pelajaran berlanjut. Tidak di kelas. Tapi di belakang kantin; singgasana Catur Merah yang sedang mengukir sejarah baru di sekolah itu. Mungkin salah satu sejarah hebat yang akan terus dikenang sekolah itu.
Hari-hari sebelum ujian akhir dihabiskan di tempat itu. Tempat yang telah menjadi rumah bagi kami. bukan hanya kami berlima, tapi ratusan lainnya juga. Catur Merah telah menorehkan ceritanya sendiri. Salah satu cerita terindah yang pernah ada di sekolah itu. Salah satu cerita terbaik bagi kami berlima. Salah satu cerita termanis bagiku.
Agustus 2010
Aku masih ingat bagaimana hari-hari kami setelah itu. Ujian akhir datang. Kami melewatinya tanpa banyak menemui kesulitan yang berarti. Semua keluarga besar Catur Merah lulus dan berhasil masuk ke SMA impian masing-masing. Upacara perpisahan menjadi saat terakhir kita semua berkumpul. Kami berlima dapat penghargaan dari sekolah, dan Fahmi dapat penghargaan khusus dari kepala sekolah. Namanya akan terus ada di sekolah itu. Saat itu Fahmi berjanji akan menyatukan kembali komunitas Catur merah. Janji tersebut disambut dengan gegap gempita. Semua bertepuk tangan. Semua bersorak untuk janji itu. Janji yang hingga kini belum terwujud. Hari dimana Fahmi memberikan pidato di belakang kantin tentang pembubaran Catur Merah benar-benar telah menjadi hari terakhir kami main catur bersama-sama dan beramai-ramai. Aku rindu saat-saat itu.
Fahmi pindah ke Jakarta. Dia melanjutkan SMA di sana. Aku, Eno, dan Rinto ada di SMA yang sama. Galih pindah ke kampung halamannya, bandung, dan melanjutkan SMA di sana. Usai SMA aku pindah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Eno tetap di kota ini, bekerja. Rinto ke Surabaya. Fahmi dan Galih sudah tidak ada kabar.
Aku rindu Catur Merah. Komunitas yang telah membawaku menjadi orang yang benar-benar berbeda. Semua berkat Catur Merah. Semua berkat Fahmi.
“Skak mat!!”