Rabu, 29 Juni 2011

Brain test

Holaa, kali ini gue mau main dikit, dan yang dimainin adalah otak haha.. Oke, jadi ceritanya ini adalah tes otak dan alam bawah sadar, apakah berfungsi dengan normal atau berfungsi dengan luar biasa (gak ada yang gak normal kan? :P).. Ada dua tes di sini, dan sebenernya jujur aja, dua-duanya itu bukan gue yang bikin, jadi agak repost lah hehe tapi fun kok.. :)

Tes pertama, kemampuan membaca.. Sesuai dengan namanya, tes ini tinggal baca teks doang, silakan disimak.. :)


Nah, udah dibaca kan teks di atas? Sip, sekarang lanjut ke tes kedua.. Oh iya, penjelasannya di akhir ntar yaa (biar pada baca sampe abis kekekekekek :P)

Tes kedua dan yang terakhir ini adalah tes berhitung.. Tapiiii, ngitungnya jangan pake kalkulator atau dicatet yaa, dibayangin di dalem kepala aja, oke? Inget, dibayangin di dalem kepala aja!! :D

Bayangin lo punya uang 1000
Terus ditambah 40
Terus ditambah 1000 lagi
Terus ditambah 30
Terus ditambah 1000 lagi
Terus ditambah 20
Terus ditambah 1000 lagi
Terus ditambah 10
Pertanyaannya, berapa jumlah uang lo sekarang??

Disimpen yaa jawabannya.. Sip! Sekarang ke penjelasan..

Oke, tes pertama itu membaca.. Apa yang lo baca di teks itu? Apakah "I love Paris in the spring time"?? Kalo iya, berarti lo salah baca hehehe.. Kenapa? Karena, nyadar gak, kata "the" dalam kalimat itu tertulis DUA KALI.. Jadi harusnya "I love Paris in THE THE spring time".. :D

Lanjut tes kedua, jadi di akhir perhitungan, uang lo ada berapa? Apakah 5000?? Kalo iya, berarti lo salah itung.. Kenapa? Karena jawaban yang bener adalah 4100, coba aja pake kalkulator kalo gek percaya hehe..

So, gimana hasil tesnya? Ada yang bener semua? Ada yang salah semua? Ada yang 50:50? Hehe sebenernya kalo salah jawab itu normal kok, soalnya ada sesuatu di dalem otak yang kita sebut common sense, jadi saat lo melakukan tes tadi, common sense itu bekerja dan dialah yang bikin jawaban yang salah itu.. #sokilmiah#

Yaudah, segitu aja deh hehe bingung mau nambahin apa lagi.. :P Ciao!!

#Credit to creators of the tests#

Senin, 27 Juni 2011

Catur Merah

April 2004 
Di belakang kantin itu lagi.
Panas matahari masih sama. Riuh dari lapangan depan juga masih membahana sampai belakang sini. Kami tidak peduli tapi. Kami punya dunia sendiri. Mereka mungkin heboh dengan kemampuan mereka mencetak gol ke gawang batu-tiga-langkah yang dijaga anak-anak bertubuh kurus itu. Kami tetap tak tertarik. Mereka mungkin merasa jago dengan keahlian membaca kartu dan pergerakan lawan dalam permainan kartu dari jepang itu. Kami tetap sama. Disinilah singgasana kami, belakang kantin. Tak terusik gelombang dari lapangan depan, kami mengobrol sunyi satu sama lain. Di depan sana, mereka mungkin tak sadar ada 5 anak yang hilang dari peredaran mereka. Mereka bahkan tak peduli ada kami atau tidak. Sangat terlihat seperti itu.

Kami punya dunia kami sendiri.
Kami terus memegang teguh keyakinan itu. Setidaknya sampai suatu saat ada salah seorang diantara kami yang diajak main oleh anak-anak lapangan depan—mungkin. Kami dipaksa untuk membangun dunia sendiri. Karena di dunia yang luas sana, kami seperti kerikil kecil. Eksistensi kami tidak dipertanyakan.

Eno, Rinto, Fahmi, Galih, dan aku sendiri.
Kami berlima. Tiap bel istirahat berbunyi, kami tak sebahagia anak-anak lain—atau kelihatannya seperti itu—yang langsung menghambur ke luar kelas, seperti ikan yang dibebaskan dari bubu. Berteriak-teriak, menghampiri teman terdekatnya, mengganggu kelompok lain, dan ujung-ujungnya bermain bola. Selalu seperti itu.

Kami juga selalu seperti itu, tapi dengan cara kami. Berjalan gontai melawan arus, ke arah kantin belakang. Tempat anak-anak yang kurang beruntung berkumpul secara individual, tidak punya teman main, atau tepatnya, tidak ada yang mengajak main. Kasihan.

Kembali lagi kami duduk di belakang sana.
Bercengkrama tanpa permisi pada kursi-kursi dan meja-meja kayu reot yang aku yakin umurnya lebih tua dari kami. Tawa kami mungkin tak membahana, tak tergelak-gelak seperti anak-anak lapangan depan, tapi kami senang. Suara angin mungkin lebih sering masuk ke gendang telinga daripada gelombang transversal produksi pita suara kami sendiri. Tapi kami bahagia. Kami punya cara sendiri.

Suatu hari Fahmi datang dengan ide yang sangat tiba-tiba. Karena, tak ada hujan tak ada angin—sebenarnya ada angin—dia muncul dengan ide seperti itu. Fahmi ingin kami punya nama dan mulai hidup layaknya anak-anak lapangan depan. Mungkin dia sudah bosan hidup terisolasi seperti ini dan mulai ingin mencoba hal baru. Kami hanya diam, tidak menolak tapi juga tidak setuju, kami hanya bingung. Diamnya kami pertanda kami mempersilakan Fahmi untuk melanjutkan kampanye. Fahmi bahkan sudah memikirkan nama, konsep, job descriptions, visi dan misi, dan sejumlah kata-kata diplomasi nan persuasif agar kita tidak punya pilihan lain selain kata setuju. Anak itu memang penuh dengan antisipasi. Fahmi memang yang paling pintar dan cerdas di antara kami berlima, bahkan mungkin di kelas, karena selain dengan kami, dia juga berteman akrab dengan buku-buku. Tidak heran anak-anak lapangan depan enggan memasukkan Fahmi ke dalam tim. Tapi, di kelas, saat pelajaran matematika atau bahasa inggris, anak-anak lapangan depan itu berlomba-lomba menjadi teman se-tim Fahmi. Cerah sekali masa depan calon-calon pemimpin bangsa itu.

“Catur Merah.” Nama singkat itu diucapkan Fahmi dengan senyum bangga, seolah-olah dia telah menemukan nama perkumpulan yang nantinya akan jadi organisasi besar dunia.

Lagi, kami hanya diam.
Kecerdasan linguistik kami sepertinya memang sangat terbatas. Kami rasanya belum siap untuk merespon sesuatu yang seasing ini. Menurutku wajar, karena kami cuma terbiasa membahas kebohongan berbentuk film-film kartun yang berasal dari negeri kecil tapi canggih ribuan mil di utara negeri Indonesia ini.

Diamnya kami dimanfaatkan dengan sangat apik oleh Fahmi untuk melanjutkan kampanye.

“Kamu tahu catur kan?” Tantang Fahmi.
“Iya, jelas. Bapakku suka main catur. Aku juga suka ikutan.” Eno melahap umpan Fahmi.
Yang lain hanya mengangguk—bahasa lain untuk mengatakan “iya” tapi tidak ada di kamus.
“Hanya orang-orang pintar yang main catur.” Fahmi berdiplomasi.
“Kita orang-orang pintar kan?” Fahmi melempar pancing lagi.
Pancingan Fahmi nampaknya kurang menggiurkan kali ini. Tidak ada seonggok kata pun yang terlontar dari mulut kecil kami. Yang ada hanya anggukan-anggukan kecil. Bukan pertanda iya, tapi pertanda bingung karena tidak yakin pertanyaan Fahmi memang benar untuk kami.
“Aku menteri.” Fahmi mengkalim diri sendiri sebagai bidak terkuat yang berkancah di atas medan perang hitam-putih papan catur. Tak bosan-bosan kami hanya diam, tak ada bantahan, tak ada komplain, setuju begitu saja.

“Aku benteng.” Kami menoleh seketika ke arah Eno. Dia angkat bicara. Luar biasa! Fahmi tersenyum menang. Dia tahu pancingannya berhasil. Dia tahu dengan adanya satu orang pasif saja yang menjadi aktif akan membawa perubahan besar ke dalam komunitas.
“Yak, Eno benteng! Hebat, benteng itu kuat loh, favorit aku juga. Untung kamu orang pertama yang jadi benteng, karena tiap orang hanya boleh pilih satu jenis.” Luar biasa, Fahmi tahu betul bagaimana cara memanfaatkan percik semangat yang kecil menjadi kobaran antusiasme yang besar. Yang lain saling tatap, namun kini bukan tatapan pasif, tatapan itu adalah tatapan berlomba-lomba mengumpulkan keberanian untuk berbicara layaknya pemimpin.

“Aku! Aku kuda!”. Kali ini Galih. Luapan emosi sesaat tadi nampaknya telah menyadarkan Galih--dan yang lainnya--bahwa angkat bicara tidak sehoror itu.
“Kamu bukan orang kah Galih? Kamu kuda ya?” Mesin di dalam tubuh Eno seperti telah menemukan saklarnya. Dia tak lagi enggan untuk bicara. Semua tertawa. Tawa lepas dan tergelak-gelak seperti layaknya anak lapangan depan.

Sesaat kami merasakan kebahagiaan yang belum pernah kami rasakan sebelumnya. Kobaran antusiasme itu nampaknya telah melanglangbuana liar. Kami memasuki tahap kesenangan yang setingkat lebih tinggi hari ini.

“Yak, Galih kuda. Satu-satunya bidak yang berani berlari lincah dan liar di atas papan. Kuda lambang keberanian.” Lagi-lagi berhasil. Fahmi mungkin telah merencanakan dialognya pada malam sebelumnya. Hebat sekali. Semua puas.

Tinggal dua bidak dan dua anak yang tersisa. Aku dan Rinto. Kami sadar bidak yang tersisa tinggal gajah dan raja. Aku dan Rinto dilanda dilema luar biasa saat itu karena keadaannya menjadi seperti hanya ada satu pilihan untuk dua orang. Aku yakin Rinto seperti aku, tidak mungkin berani mengajukan diri menjadi raja. Kedudukan itu terlalu tinggi untuk kami klaim. Raja, walaupun lemah, adalah pemegang kunci kemenangan atau kekalahan dalam catur. Dia adalah jiwa tiap-tiap sisi yang berperang. Dengannya perang berlanjut, tanpanya perang selesai. Dia adalah jantung permainan. Dia adalah saklar kehidupan catur. Semua fakta itu makin meyakinkanku bahwa sekarang aku dan Rinto ada dalam keadaan terdesak. Kami berdua harus berperang batin demi memperebutkan gajah, satu-satunya bidak unggul yang posisinya ada di bawah raja. Rasa sesal karena tidak menjadi yang pertama berbicara merasuk cepat ke nadiku, mengirim impuls-impuls luar biasa cepat ke jantung yang kini berdetak tiga kali lebih banyak dibandingkan lima menit yang lalu.

“Seharusnya aku yang duluan memilih benteng tadi, atau setidaknya kuda. Kini keadaan menjadi rumit. Kalau aku angkat bicara dan menjadi gajah, apa jadinya Rinto?” Pikirku. Terlalu rumit, memang, bagi ukuran anak usia 14 tahun dalam memikirkan hal simpel seperti itu. “Kalau Rinto angkat bicara duluan........”

“Aku...” Rinto memulai. Habis sudah, aku terlambat. Aku menyesali kelambananku.
“Aku raja.” Kata Rinto hampir tanpa ekspresi takut, sesal, ataupun salah ucap.

Gendang telingaku seketika menjadi tuli, seolah-olah aku memang terlahir tanpa gendang telinga. Namun aku bisa mendengar satu suara yang berulang-ulang. Hanya satu suara. Suara “Aku raja”-nya Rinto.

Aku kaget. Semua kaget. Bahkan Fahmi tak menduga. Rinto harusnya juga kaget. Aku pun berharap Rinto juga kaget dan menelan kembali kata-katanya. Tapi harapanku sia-sia. Rinto mantap dengan pilihannya. Aku senang sekaligus merasa aneh dengan pilihan yang tersisa. Aku belum habis pikir kenapa Rinto tiba-tiba berubah jadi Rinto yang lain, yang bahkan melebih Fahmi yang mengklaim dirinya sebagai menteri.

“Oke, berarti kamu gajah ya?” Fahmi mengembalikanku menjadi manusia normal yang punya gendang telinga lagi. “Ah, iya.” Jawabku singkat. Aku masih kacau. Belum sepenuhnya sadar akibat insiden yang dibuat Rinto tadi. Aku menoleh ke Rinto, dia sedang tersenyum, matanya binar. Fahmi berhasil menyemai virus luar biasa itu ke sebagian dari kami. Semua ini berkat Fahmi.

“Ngomong-ngomong, kamu hebat Rin, memutuskan jadi raja. Aku salut!” Kata Fahmi. Dia tidak munafik, dia benar-benar salut. Gelombang euforia makin menjalar ke tubuh Rinto.
“Aku cuma tidak suka sama gajah. Hehe.” Balas Rinto kemudian. Yang disusul dengan ketidakpercayaan yang luar biasa diantara kami. Alasannya ternyata sesederhana itu! Rinto menghindari hal kecil dengan membuat dirinya memilih hal lain, walaupun pilihan itu menempatkannya pada posisi sulit. Entah itu keberanian atau kepengecutan yang ekstrim. Satu hal yang terlintas di pikiranku saat itu, “Jangan-jangan presiden seperti itu.”

“Kenapa tidak ada pion?” Eno menunjukkan ketertarikannya atas komunitas ini dengan menanyakan sesuatu yang sangat penting. Kesimpulan yang dapat aku ambil adalah, sejauh ini dia masih peduli dan memerhatikan.

“Karena....” Fahmi memulai, lagi-lagi dengan gaya diplomatnya, dan lagi-lagi sepertinya kata-katanya telah ia siapkan tadi malam. “.....merekalah pion-pion kita!” jari Fahmi tegas menunjuk arah lapangan depan. Tiba-tiba saja kami sadar kalau di lapangan depan sana berisik sekali. Banyak sekali anak-anak di lapangan depan itu. Jumlahnya puluhan kali lipat Catur Merah, bahkan ratusan. Kami belum tahu humor normal saat itu, namun setelah Fahmi selesai berbicara, tiba-tiba kami punya sense of humor. Kami menyangka Fahmi bercanda. Kami tertawa. Tapi Fahmi tidak. Dia serius. Benar-benar serius. Ini menimbulkan ketidakpercayaan yang baru buat kami. Bagaimana mungkin anak-anak lapangan depan menjadi pion kami. Yang ada kami-lah yang jadi pion mereka. Pion yang bahkan letaknya di luar papan—karena sudah kalah.

Semangat membuncah-buncah yang tadi melanda kami tiba-tiba melayang pergi begitu saja. Meninggalkan kami yang kembali menjadi kami yang normal, bukan Catur Merah. Kami tidak mengrti apa yang ada di pikiran Fahmi. Dia hebat, tapi ceroboh.

Bel tanda istirahat usai telah berbunyi. Ikan-ikan dipaksa kembali masuk bubu, walau enggan. Catur Merah sudah terbentuk. Tidak resmi, namun mengikat. Dengan Rinto sebagai rajanya. Aku khawatir. Sungguh.


Juli 2004
Bel istirahat berbunyi. Kembali mereka menghambur keluar. Kini kami tidak berjalan berlawanan arah dengan anak-anak lain. Kami berjalan searah dengan mereka. Tidak ke lapangan depan, tapi ke belakang kantin. Catur Merah menemukan masa kejayaannya. Kini kami berlima bukan perwira tanpa prajurit lagi. Anak lapangan depan telah berhasil dijadikan “pion” oleh kami berlima. Sekarang, tiap bel istirahat berbunyi, hampir semua anak berbondong-bondong datang ke belakang kantin. Ada turnamen catur di sana. Tiap anak berusaha mematenkan jati diri mereka sebagai bocah terhebat di sekolah  dengan memenangkan kejuaraan catur dan menjadi yang tak terkalahkan di sana.

Fahmi, Eno, dan Rinto adalah tiga perwakilan terhebat dari Catur Merah. Mereka, terutama Rinto, secara sangat mengejutkan ternyata adalah pecatur kelas atas di sekolah. Mereka tak pernah lepas dari urutan 5 besar dari turnamen kecil yang diikuti lebih dari 50 orang ini. Hebat sekali. Aku dan Galih? Kami hanya penggembira. Cocok sekali dengan jabatan kami, kuda dan gajah. Kuda dan gajah hanya setingkat lebih tinggi dari pion. Pecatur tak akan begitu khawatir ketika kehilangn gajah atau kuda. Tapi kehilangan sebidak benteng saja, apalagi menteri, pecatur akan mulai ketar ketir.

Rahasia keberhasilan kami adalah taktik tantang-dan-cemooh dari Fahmi. Awalnya hanya dia yang bergerak. Sehari setelah Catur Merah terbentuk, Fahmi membawa papan catur ke sekolah dan mengajak salah satu dari kami untuk bermain di kelas. Lawan pertamanya adalah Eno, yang tentu saja kalah. Hari berikutnya, mulai ada dua anak lapangan depan yang menonton. Saat itu Fahmi versus Rinto. Secara mengejutkan, Rinto menang. Bahkan anak lapangan depan yang tidak mengenal kami pun kaget, karena common sense bagi mereka adalah, Fahmi anak tercerdas di kelas, dan Rinto tadinya bukan siapa-siapa di kelas. Rasa penasaran mulai menjalar di salah satu anak lapangan depan. Melihat kesempatan itu, Fahmi menariknya masuk ke dunia kami. Fahmi menantangnya. Anak itu tertarik. Fahmi sudah bisa membaca situasi, dia memang merencanakan ini. Kurang dari 5 menit kemenangan sudah tergenggam oleh Fahmi. Seperti namanya, taktik tantang-dan-cemooh menggunakan cemoohan untuk menggalang sukses. Fahmi dengan tanpa ampun mencemooh anak lapangan depan itu. Emosi sudah tersalurkan. Anak itu tersulut dan memanggil temannya untuk melawan Fahmi. Tujuan anak itu adalah agar bisa mencemooh balik, tapi sepertinya mimpi anak itu untuk mencemooh balik tak bisa semudah itu terwujud. Fahmi, Eno, dan Rinto, mereka bertiga secara bergantian dengan sadis mengganyang anak lapangan depan satu per satu. Eno dan Rinto kini sudah mulai berani mengaplikasikan taktik tantang-dan-cemooh Fahmi setelah mereka merasa cukup kuat mental untuk melakukannya. Hanya aku dan Galih yang kurang bisa mengaplikasikannya. Karena kami berdua mudah kalah. Fahmi berkata itu bagian dari taktik. Benar juga, pikirku, memberikan sedikit kesenangan untuk anak lapangan depan dengan membiarkannya menang ketika melawanku atau Galih adalah cara yang cukup ampuh untuk menarik massa. Saat mereka bosan kalah, mereka akan datang dan menantangku atau Galih. Dan anehnya, anak lapangan depan itu juga menerapkan taktik tantang-dan-cemooh untuk aku dan Galih—sebenarnya lebih banyak cemoohnya. Dan yang lebih menarik, mereka juga menerapkan taktik itu kepada sesama mereka.


Berkembang biak cepat seperti bakteri, jumlah anak lapangan depan yang bergabung ke dunia kami dalam jangka waktu satu bulan saja sudah berlipat-lipat ganda. Mereka kini membawa papan catur mereka sendiri. Ruang kelas menjadi sesak saat jam istirahat. Lapangan depan kekurangan peminat secara drastis. Suatu hari Fahmi mengajak para “pion” ke singgasana Catur Merah—belakang kantin. Tempat yang lebih leluasa untuk menggelar perang antar papan. Hari berikutnya Fahmi datang lagi dengan ide baru. Ia akan menggelar liga untuk mempertontonkan nama-nama hebat dan mempermalukan nama-nama kurang beruntung di depan kami semua. Ide yang sangat efektif untuk membakar semangat mereka yang butuh pengakuan atas nama mereka. Kini Fahmi, Rinto, dan Eno menjadi selebriti di kalangan ini, tak ada yang tak kenal mereka. Pun dengan aku dan Galih, walaupun kami tidak sehebat mereka, kami juga dikenal sebagai pilar-pilar pendiri Catur Merah. Perlahan-lahan, taktik tantang-dan-cemooh ditanggalkan, dan persaingan sehat mulai mengudara. Kami mengajarkan sportifitas tinggi dan rasa persahabatan yang mendalam. Anak-anak lapangan depan itu  sekarang manut seperti burung beo, mereka menuruti peraturan kami tanpa protes. Semua itu demi meraih peringkat tertinggi dalam liga dan mendapat pengakuan. Catur Merah secara tidak resmi telah sukses meraih jati diri mereka. Kami—yang dimotori Fahmi—secara tidak disadari oleh anak-anak  lapangan depan itu, telah merekrut dan menjadikan mereka “pion” dengan memanfaatkan emosi mereka. Fahmi contoh calon pemimpin yang sempurna, dan ia menularkan sifat itu kepada kami. Hebat sekali.


April 2005
Coba tanyakan ke seantero sekolah, apakah ada yang tidak kenal dengan Catur Merah? Saat ini hampir tidak mungkin menemukan siswa yang tidak kenal Catur Merah. Kalaupun tidak tergabung, mereka pasti kenal, atau setidaknya pernah mendengar nama Catur Merah. Bahkan sebagian guru pun demikian. Kami tidak pernah menyangka akan melangkah sejauh ini setahun yang lalu. Seandainya kami adalah suatu perusahaan, mungkin kami adalah perusahaan yang telah menjadi sangat sukses dan kami berlima adalah direktur-direktur yang kaya raya.

Sudah setahun, api Catur Merah belum padam juga, bahkan secara mengejutkan, anggota kami telah mencapai ratusan! Tiap satu orang dari kami membawahi sebanyak kurang-lebih 20 “pion”. Kami telah menyetujui adanya pembagian kelas untuk para anggota. Galih memegang kelas paling ringan, yaitu kelas kuda. Anak-anak yang belum cukup kuat bermain catur berada di kelas Galih. Diikuti dengan kelas Gajah, kelasku. Setingkat di atas kelas kuda. Kemudian kelas benteng, punya Eno. Lalu kelas menteri Fahmi, dan yang teratas kelas raja, kelasnya Rinto. Belasan pecatur-pecatur kuat ada di kelas raja. Tiap 2 minggu kami menerapkan sistem gradasi dan degradasi. Kami menaikkan 5 pecatur teratas dari tiap kelas ke kelas berikutnya dan menurunkan 5 pecatur terbawah setingkat lebih rendah. Sistem ini memunculkan semangat bersaing yang luar biasa.

Dibanding setahun yang lalu, kini kami adalah 5 anak yang sangat berbeda. Kami yang sekarang telah berubah menjadi pemimpin. Memimpin anak-anak lapangan depan yang dulu kami anggap sangat kuat dan tidak akan pernah bisa untuk ditaklukkan anak-anak belakang seperti kami. Kami tidak lagi takut untuk berbicara. Kami benar-benar telah berubah, menjadi lebih baik. Jauh lebih baik. Semua berkat Fahmi, pemimpin yang sebenarnya.


Juni 2005
Ujian akhir sekolah sudah sangat dekat. Catur Merah masih di puncak kejayaannya. Tapi kami mulai memikirkan untuk fokus belajar demi meraih mimpi untuk masuk ke SMA favorit masing-masing. Ketika ujian akhir hanya tinggal beberapa minggu lagi, Fahmi mendatangi kami. Dia mengatakan untuk membubarkan Catur Merah demi kesuksesan kami dalam ujian akhir. Entah kenapa saat itu kami kembali seperti setahun yang lalu, hanya diam. Kami setuju, tapi tidak setuju di saat yang bersamaan. Tapi kami tahu Fahmi memikirkan yang terbaik. Maka kami setuju.

Bel istirahat, anak-anak belakang kantin membuyar lagi layaknya ikan-ikan yang dilepas dari bubu. Berjalan searah ke arah belakang kantin. Beberapa membawa papan catur. Kami telah disana, mendahului mereka. Bukan bermain catur, tapi mempersiapkan skenario terburuk: Membubarkan Catur Merah.

Fahmi lalu berdiri di atas salah satu meja reot yang masih cukup kokoh. Seketika semua anak memerhatikan. Semua berhenti bermain catur. Semua mata mengarah ke Fahmi. Aura pemimpinnya telah membimbingnya menjadi orang sehebat itu, bahkan di antara anak-anak barbar mantan pemakai lapangan depan. Fahmi akan memberikan pidato singkat tentang pembubaran catur merah dan alasan-alasannya. Seperti saat membentuk Catur Merah, Fahmi sepertinya telah memikirkan semua dialognya matang-matang. Lancar sekali dia mempersembahkan pidato pembubarannya. Raut muka tak setuju mulai banyak bermunculan. Kini mereka telah jatuh cinta kepada Catur Merah melebihi cinta mereka terhadap pengakuan atas nama mereka dalam liga, karena di sini mereka telah menemukan teman, sportifitas, persaingan sehat, manisnya kemenangan, kakalahan yang memotivasi, dan dukungan tak henti dari berbagai pihak. Semua itu terasa manis bagi mereka, juga bagi kami. Kami seharusnya tahu saat ini akan datang, cepat atau lambat.

Hari ini hari terakhir Catur Merah. Mulai besok tak ada lagi pergelaran liga catur. Tak ada lagi yang boleh membawa papan, alih-alih, mereka diminta untuk membawa buku pelajaran ke belakang kantin ini kalau mereka masih mau datang ke singgasana ini. Fahmi meminta itu semua. Fahmi memohon pengertian. Semua sebenarnya mengerti betul, mereka hanya belum rela kesenangan ini berakhir. Kami juga. Aku yakin Fahmi juga. Liga catur terakhir hari itu suram, sepi, sunyi. Pekik kemenangan tak lagi terdengar. Semua lesu. Semua tahu ini hari terakhir mereka bermain catur di sini. Saat bel pelajaran kembali berbunyi, Fahmi kembali berdiri, mengucapkan salam terakhir. Dia berkata, mungkin ini bukan yang terakhir. Jika sanggup, dia akan membuka kembali liga Catur Merah di luar sekolah. Fahmi berusaha menghibur. Semua merasa sedikit terhibur, tapi tetap saja hiburan itu tidak cukup. Ya, kami semua berharap dapat bergabung lagi nanti. Kami akan menunggu saat itu.

Keesokan harinya, kami telah menunggu di belakang kantin saat bel istirahat berbunyi. Kembali berjumlah 5 orang. Kali ini tanpa papan catur. Kami membawa buku-buku pelajaran sebagai gantinya. Ujian akhir tinggal beberapa minggu lagi. Kami belajar dalam sunyi, hanya Fahmi yang sesekali mengeluarkan suara untuk memberikan tutorial kepada 4 temannya yang lain. Lalu, keajaiban terjadi. Beberapa meter dari kami terlihat bayangan beberapa anak yang berjalan ke arah kami. mereka membawa sesuatu di tangan mereka. Tidak, bukan papan catur. Tapi buku pelajaran! Jumlah kami bertambah menjadi 11 sekarang. Menit berikutnya menjadi 18. Menit berikutnya menjadi 27. Lalu 41. Lalu 68, dan terus meningkat sampai total menjadi 112 anak! Sungguh tak terbayangkan pengaruh Catur Merah bisa sehebat ini. Bel masuk pelajaran berbunyi. Kami bergeming seolah tidak peduli. Fahmi masih asik mengajar, kami asik diajar. 1 anak mengajar 111 anak. Luar biasa!

Beberapa menit kemudian seorang guru dengan tampang gusar datang. Mungkin kesal karena kelas kosong saat bel masuk telah berbunyi. Kami tidak peduli. Guru itu makin mendekat, hampir marah. Situasi belakang kantin itu sangat kondusif. Kami belajar dengan sungguh-sungguh. Keadaan itu membuat sang guru membuka mata. Amarahnya tertahan di kerongkongan, turun ke jantung, bertukar posisi dengan simpati dan rasa bangga. Senyum tersungging di bibirnya. Dia duduk di baris belakang, memerhatikan. Fahmi menyapa sang guru, kami secara serempak menoleh dan tersenyum kepada sang guru. Fahmi telah menjadi semacam komandan bagi kami. Sang guru kemudian berdiri, meninggalkan kami. kami tetap tidak peduli. Beberapa menit kemudian, sang guru kembali, kali ini tidak sendiri. 4 guru lain berjalan beriringan dengannya. Dia memanggil bala bantuan. Fahmi dipanggil oleh sang guru, membuat semacam persetujuan singkat. Kemudian Fahmi duduk diantara aku, Eno, Rinto, dan Galih, kami saling menukar senyum bangga. Posisinya digantikan oleh 5 guru tadi. 112 anak lalu dibagi menjadi 5 kelompok dan pelajaran berlanjut. Tidak di kelas. Tapi di belakang kantin; singgasana Catur Merah yang sedang mengukir sejarah baru di sekolah itu. Mungkin salah satu sejarah hebat yang akan terus dikenang sekolah itu.

Hari-hari sebelum ujian akhir dihabiskan di tempat itu. Tempat yang telah menjadi rumah bagi kami. bukan hanya kami berlima, tapi ratusan lainnya juga. Catur Merah telah menorehkan ceritanya sendiri. Salah satu cerita terindah yang pernah ada di sekolah itu. Salah satu cerita terbaik bagi kami berlima. Salah satu cerita termanis bagiku.


Agustus 2010
Aku masih ingat bagaimana hari-hari kami setelah itu. Ujian akhir datang. Kami melewatinya tanpa banyak menemui kesulitan yang berarti. Semua keluarga besar Catur Merah lulus dan berhasil masuk ke SMA impian masing-masing. Upacara perpisahan menjadi saat terakhir kita semua berkumpul. Kami berlima dapat penghargaan dari sekolah, dan Fahmi dapat penghargaan khusus dari kepala sekolah. Namanya akan terus ada di sekolah itu. Saat itu Fahmi berjanji akan menyatukan kembali komunitas Catur merah. Janji tersebut disambut dengan gegap gempita. Semua bertepuk tangan. Semua bersorak untuk janji itu. Janji yang hingga kini belum terwujud. Hari dimana Fahmi memberikan pidato di belakang kantin tentang pembubaran Catur Merah benar-benar telah menjadi hari terakhir kami main catur bersama-sama dan beramai-ramai. Aku rindu saat-saat itu.

Fahmi pindah ke Jakarta. Dia melanjutkan SMA di sana. Aku, Eno, dan Rinto ada di SMA yang sama. Galih pindah ke kampung halamannya, bandung, dan melanjutkan SMA di sana. Usai SMA aku pindah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Eno tetap di kota ini, bekerja. Rinto ke Surabaya. Fahmi dan Galih sudah tidak ada kabar.

Aku rindu Catur Merah. Komunitas yang telah membawaku menjadi orang yang benar-benar berbeda. Semua berkat Catur Merah. Semua berkat Fahmi.

“Skak mat!!”

Nyan cat !!

Virus terbaru yang masuk ke kepala gue haha..
Siapakah dia? Check it out !! Ini gambarnya.........


Ketemu sama kucing imut ini di 9gag.com terus penasaran dan nyari di youtube ternyata ada theme song-nya.. And later on, the song is stuck in my head..


Nyan nyan nyan nyan.. :3

Pagi buta dan aku yang tak buta

Terjaga semalam..

Menggapai mimpi dalam mata yang terbuka.. Mencoba merangkai suara dari sunyi yang mengepung.. Gemerisik pohon dan simfoni hewan malam cukup membantu.. Nada itu terbentuk, namun hanya untuk telinga.. Sang hati yang angkuh sedang menolak dengar.. Ia diam, mengucap bisu, tetap seperti itu..

Esok hari adalah hari ini.. Kemarin telah lewat sejak dua jarum jam tak lagi sejajar menunjuk ke atas.. Aku bernyanyi dalam bisik--lagi.. Usahaku masih satu, untuk membungkam bisu yang terasa pekat..

Andai kedua bola penguasa indera penglihatan ini bisa menarik tutup tirai kelopaknya, mungkin aku tidak perlu terus-menerus mendengar sepi seperti ini.. Setidaknya mimpi masih bisa bersuara lebih lantang kala lelap..

Detik berdetak, waktu terbang menjauh.. Tidak juga otak ini menyerah untuk segera mengistirahatkanku.. Aku tetap di sini, duduk manis memandang jendela walau mungkin jendela pun telah bosan menatap balik.. Aku masih diam di sini, namun akalku ada di sana, terbang menggapai khayal-khayal tinggi, mencoba menarik mereka menembus batas antara nyata dan tidak..

Irama subuh telah bergema.. Nyanyian khidmat berkumandang dari tiap-tiap surau yang berlomba-lomba melantunkan nada paling indah.. Aku bergeming, tak beranjak.. Dagu yang sedari tadi ditopang kedua tangan mulai lelah dan perlahan turun menyentuh meja kayu.. Dalam posisi duduk aku melakukan banyak hal.. Aku mendengar dendang fajar, aku bermimpi, aku tersenyum, aku mencerna damai, aku kosongkan racun dalam hati, aku syahdu, aku terlelap..

Sabtu, 25 Juni 2011

Immoral Mama

Ini personil Immoral Mama, kurang kakek doang nih, dari kiri ke kanan: Yogi, Soli, Emir, Kepet (Gue yang moto heheh)

Nah, gue mau memperkenalkan band gue tercinta yang namanya Immoral Mama.. Yaa, yaa, gue tau namanya agak nakal haha.. Idenya muncul BUKAN DARI GUE.. Idenya muncul dari Emir, si gitaris, yang pernah nonton film he**ai berjudul immoral sister, trus tiba-tiba dia mencetuskan aja tuh nama Immoral Mama dan anehnya semua setuju, gue cenga-cengo aja haha..

Gue lupa Immoral Mama kebentuk tanggal berapa, tahunnya aja gue lupa, tapi antara 2008 atau 2009 sih, tapi kayaknya kalo bukan akhir 2008 ya awal 2009.. Oke, mari kita kupas semua hal tentang Immoral Mama haha (Gak semua sih, yang gue inget dan mau gue ceritain aja :P)

PERTEMUAN
Well, ini semua dimulai saat gue mulai masuk kuliah di Universitas Bakrie.. Di situ ada yang namanya UKM (Unit Kegiatan mahasiswa), kayak Ekskul gitulah kalo di SMA (Ya ampun nyebut SMA kok kayaknya udah masa laluuuuu banget -.-).. Trus waktu itu gue milih 2 UKM: Paduan Suara sama Band.. Oke, skip paduan suara, kita masuk ke band.. Di UKM band gw ngebentuk band pertama gue sama anak-anak bakrie yang namanya Aziz (Gitaris), Kausar (Bassis), Jimmy (Keyboardis), Olla (Vokal, dia cewek sendiri), dan gue sendiri sebagai drummer.. Awalnya gue excited gila sama band gue yang pertama ini, maklum, gue udah lama pengen bentuk band hehe.. Sekali dua kali latihan cukup enak lah.. Oh iya, nama band yang pertama ini Nightmare Before Chrismast (Kayak judul kartun zzzz).. Terus lama-lama mulai dah tuh gue gak klop sama ini band di latihan yang ke sekian kalinya gara-gara hal yang cuma segelintir orang yang tau hoho..

Kemudiaaaan, ada latihan bareng UKM band, semua band yang ada di UKM itu latihan bareng di MAMIDA STUDIO, studio langganan bahkan sampe sekarang hehe.. nah, di latihan bersama itu gue ngeliat band-band lain tuh.. Ada band yang gue gak tau namanya yang personil-personilnya bakal jadi cikal bakal terbentuknya Immoral Mama woohooo!! ^^ Di band itu ada personil-personil yang namanya Dewe (Vokal), Zikran (Drum), Rian (Bass), Yogi (Gitar) sama Reza (Gitar).. Nah, setelah latihan bersama itu, gue balik ke kampus bakrie, gak bareng band gue, tapi gue bareng Emir, Soli, Yogi, Kakek (Reza), dan Kepet (Rian).. Kita curhat tuh, cailaah curhaat haha.. iya, jadi kita ngomongin band masing-masing, ngomongin kejenuhan di band masing-masing, ngomongin Yogi yang harusnya gitaris tapi di studio tadi nge-scream gokil banget, ngomongin keinginan buat ngejam kapan-kapan, dan lain-lain deh.. Gue emang deketnya sama orang-orang itu sih kalo di bakrie..

Akhirnya, pada suatu pagi yang cerah #apadeh# kita janjian buat ngejam, kebetulan posisi kita di band udah ngepas banget: Ada gue yang maen drum, kepet main bass, emir main gitar (tadinya ni orang diem-diem aja gak taunya dewa banget maen gitarnya!), kakek/mamat/reza juga maen gitar, nah tinggal yogi ini yang tadinya maen gitar kita alih-fungsikan jadi vokalis.. Siapa suruh pas latihan bersama kemaren dia pamer scream yang bikin semua orang shock dan terpana haha.. Lalu, jadilah kita ngejam tuh, nge-cover lagunya Avenged Sevenfold, Bat Country.. Setelah kira-kira 3-4 menitan ngejam kita diem, gue tau saat itu masing-masing mikir "Anjrit keren!! Ini band yang gue cari-cari".. Gak tau yaa, mungkin gue sotoy tapi gue rasa itu yang terjadi haha.. Jadi gitu deh awal kebentuknya Immoral Mama.. Oh iya, hampir lupa, ada si SOLI NONI CECILIA SINAGA yang ceritanya jadi manajer kita, dia selalu ikut tiap kita ke studio.. :)

Lagi Ngejam!!

DAN SELANJUTNYA...
Sejak saat itu kita jadi makin rajin ngejam tuh, sampe suka bolos kuliah gara-gara gak tahan pengen ngejam haha kadang-kadang doang tapi.. Sampe ada istilah 5B, singkatan dari Bakrie, Bolos, Band, Billiard, Bowling, itu menunjukkan kehidupan sehari-hari gue banget dulu hahahaha..

Immoral Mama emang jarang manggung sih, tapi dulu itu Immoral Mama adalah salah satu band yang udah terlanjur besar di Bakrie University.. Bahkan sampe sekarang kayaknya mahasiswa-mahasiswa sana masih bakal jawab "Iya, tau" kalo ditanya "Lo tau Immoral Mama gak? Band sini".. Gue bangga banget man!! Soalnya gini, Immoral Mama itu dulu satu-satunya band hardcore di kampus sono.. Yang lainnya itu band pop, jazz, atau paling banter rock lah.. Padahal aliran hrdcore itu kayak agak haram di sana, tapi kita bodo amat haha makanya anak-anak sana pada inget.. Sampe pernah Bakrie University di blacklist dari panggung pasar festival gara-gara Immoral Mama haha.. Well, that's another story heheh.. :P

Nah, berhubung gue bingung mau nulis apa lagi cerita tentang Immoral Mama (Banyak sih, tapi rela bagi-bagi?? LOL) sekarang gue mau sedikit memperkenalkan personil-personilnya aja deh..



Ini Yogi, Vokal..
Dulu banyak omong, sekarang diem gara-gara suatu masalah yang cuma dia yang tau sebabnya.. Rest in peace yog (nggak, dia masih hidup kok), kalo mau gila-gilaan lagi bareng Immoral Mama, we're always here.. :) Get a life man!!


Ini Emir, Gitar..
Dia sudah tua maaan!! Haha.. Paling konyol ni orang sumpah, tapi serius juga bisa dia.. Skill gitarnya jago.. Oh iya, dia yang mencetuskan nama Immoral Mama.. Nah, kebayang kan sifatnya dia kayak apa? Haha.. Respect, brother!!




Lihat betapa berantakannya dia haha.. Ini orang nama panggilannya banyak, Mamat, Kakek, Reza.. Dia maen Gitar, nge-back-up emir.. Dia senang tertawa haha.. Man, you're one of few people I know who has their own world.. Ya, dia emang punya dunia sendiri, dalam arti yang (hampir) sebenarnya..



Eeaaaa ini dia Kepet, Bass.. Gue bingung, di foto ini dia keliatan tinggi haha.. Ni orang suka galau, padahal tampangnya gahar kayak orang viking haha.. Skill Bassnya mantep ni orang.. Dia sering ngejam duet sama drum gue kalo di studio, klop juga dan asik.. Tapi jujur aja, gue kadang suka minder kalo duet, mengingat skill kita ada gap yang cukup jauh, walaupun beda instrumen haha.. Cepet tinggi Pet!! Haha..




Soli, soli, soliii.. Dia manajer merangkap hippie Immoral Mama haha.. Awalnya dia gabung gara-gara kita semua suka sama band yang sama nih, kita ngecover lagu band itu, jadi dia ikut-ikut gitu ke studio haha.. Gue dulu punya permaenan sama dia, namanya TTS.. Bukan Teka-teki silang, BUKAN, tapi, Tendang Tas Soli hahaha..




Udah kali yaa, segitu dulu ulasan tentang Immoral Mama, ntar kalo ada sesuatu lagi, gue lanjut deh.. :D Well, gue pokoknya cinta banget sama ini band.. I'm happy to be part of it.. :)


SEE YOU AROUND, MY FRIEND :)

Adhenozone !!


Haloo..
This is my another first blog (another?? LOL).. Yeah, kinda.. Coz I’ve been blogging before but I never really meant it.. But this time, I really mean it..!! Yeah this is my first blog, or should I say, my first REAL blog..!!
Oke, kenapa gw akhirnya pengen agak serius nge-blog..?? Soalnya gw seneng nulis (Yeah, it’s as simple as that).. Dan biasanya tulisan gw yang nyampah abis itu (Wakakakak) cuma gw tulis di facebook gw atau di notepad laptop gw, si jambrong.. And I started to think, it will be such a waste if I don’t put those writings of mine in my own blog, so I created this one.. Hehe.. Well, mungkin nantinya bakal ada fungsi lain dari blog gw, tapi niat awal gw nge-blog ya buat nyalurin hobi nulis gw ini.. Buat fans2 gw, berbahagialah.. Wakakakak.. This is totally kidding at all.. Gw berharap banget sih kalo tulisan2 gw bakal ada yang suka nantinya (Amiiiin XD).. That’s all author’s dream, I guess..
Well, next thing, kenapa nama blognya Adhenozone..?? You see, it could be multiple meaning.. Pertama, Adhen itu salah satu nama panggilan gw yang gak terlalu populer.. Hehe.. Kedua, Adhenoid itu username gw di dunia maya.. Idenya dateng dari gabungan nama Adhen + Android (Haha.. So immature).. Masih tetep kedua, Adhenozone itu gabungan antara Adhenoid + Zone.. You may already see the meaning.. Walaupun namanya Adhenozone, tapi blog ini bebas buat semua orang kok.. Hehe.. Ketiga, yang menurut gw paling menarik (Hoho).. Adhenozone itu gabungan antara Adhen + Ozone.. Nah! Pasti pada bingung kaaan, kenapa ada kata ozone..?? Ya kan..?? Ya kan..?? Ya kaaaan..?? (Maksa.. LOL).. Jadi Ozone itu singkatan dari Out of Ordinary.. Nah lho, tambah bingung dah.. Haha.. Biar gw yang jelasin lebih jauh mas Adhen (Hah?).. Jadi gini ceritanya, gw inget pelajaran kimia gw waktu SMA dulu.. FYI, itu pelajaran yang paling gw benci seumur2.. Udah gurunya galak, pelajarannya susah, ulangannya ketat abis, nilainya miskin banget, gwnya bodoh pula dalam berkimia ria.. Kombinasi yang sempurna buat kehancuran nilai kimia gw.. Haha.. Oke, balik ke topik, Jadi yang gw inget, rumus struktur kimia ozone itu adalah O3 (Ini yang masih gw bingung sampe sekarang, Oksigen itu angka buntutnya kan 6, kalo ada 3 oksigen, gimana ngegabungnya biar angka buntut masing2 dari 3 oksigen itu jadi 8.. Gw belum ketemu caranya.. That’s why I’m not that good at chemistry), terus saat gw kepikiran nama apa yang pas buat blog gw, gw mw bikin nama yang gk biasa, yang out of ordinary.. Nah, saat itu juga tiba2 ada lampu 64watt nyala di atas kepala gw, orang2 se-bus pada bingung nyangka gw alien.. Wakakakakak.. Nggak, itu lebay.. Jadi gw tiba2 dapet ide, kenapa gak nyingkat kata “out of ordinary” itu aja jadi O3 ya..?? Kan O3 itu rumus struktur kimia ozone (Oooh, how I love chemistry sooo much for providing me such inspiring name).. Jadi nama ozone bisa gw pake deh, coz lebih handy.. Yahooooo!! Jadilah nama Adhenozone itu.. Nama yang multiple meaning, artinya nama yang ambigu, artinya nama yang gak jelas..!! Hahaha.. Mudah2an nama ini jadi berkah deh, walaupun gak jelas.. Amiiiinn..
Yep, that’s it.. A little about Adhenozone.. Do visit my blog constantly.. And thank you for that.. :D
Well, time’s up, I gotta finish this (alesan).. See yaa next time..
Oia, pesan moral kali ini apa yaaaa.. Ummm.. Mungkin yang bisa gw bilang, inspirasi itu bisa dateng dari mana aja, bahkan dari hal yang lo benci sekalipun.. As a great man once said, “forgive your foes, but don’t forget their names”.. I’m not so sure I know what that means, tapi mungkin intinya lo jangan bener2 ngelupain apa yang pernah lo benci, coz mana tau suatu saat lo bisa manfaatin itu.. Haha.. Ini sih namanya pesan gak bermoral.. This is an introduction, after all, jadi kayaknya belum perlu2 banget masukin pesan moral deh.. Hehe.. (ngeleeees)
See ya my friends..!! :D